Pentingnya landasan dasar negara sudah dipikirkan oleh Bung Karno jauh
sebelum Indonesia Merdeka. Sejak tahun 1918, saat usianya baru 18 tahun.
Bung karno sudah berpikir meletakkan landasan dasar “Kebangsaan
Indonesia” sebagai prinsip pertama bagi negara Indonesia merdeka. Kata
Bung Karno, Indonesia Merdeka bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan bangsawan, atau golongan kaya, tetapi “semua buat semua”.
Bung Karno memberikan gambaran tentang beberapa tokoh lain didunia,
bagaimana mereka mendirikan negara beserta landasan negarany, Lenin
mendirikan negara Soviet Rusia tahun 1917 tetapi dasarnya sudah
berpuluh-puluh tahun umurnya. Adolf Hitler yang naik singgasana tahun
1933 tetapi sudah mengikhtiarkan Naziisme sejak tahun 1921 dan 1922. Sun
Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka tahun 1912 tetapi sejak
tahun 1885 sudah memiliki dasar negara tertuang dalam buku “The Three
People’s Principle” yakni nasionalisme, demokrasi, sosialisme.
Dalam risalah “Mencapai Indonesia Merdeka”, dibuat tahun 1933, Bung
Karno menyebutkan kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menyeberang
menyempurnakan masyarakat.
Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, mengutip tulisan
Armstrong itu pada 1 Juni 1945 tatkala berpidato di depan sidang Panitia
Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI), atau Dokuritzu
Zyunbi Tyoosakai. Ia saat itu berbicara tentang prinsi-prinsip dasar
sebuah negara merdeka.
Karena Bung Karno menyebutkan lima dasar, dan diterjemahkan sebagai
Pancasila, maka 1 Juni itu dikenallah sebagai Hari Lahir Pancasila, dan
nama Proklamator ini disebut pula sebagai penggalinya.
Sebuah pemikiran yang besar dari orang yang berjiwa besar, bahwa
pentingnya memberikan sebuah landasan bernegara yang kuat dalam satu
bangsa yang begitu majemuk, yang mampu mempersatukan yang berbeda suku
dan agama dalam satu ikatan bangsa yang satu Bangsa Indonesia. Jauh
sebelum kemerdekaan Indonesia ini sudah dipikirkannya.
“Kita semua harus mendirikan satu negara kebangsaan di atas satu
kesatuan bumi Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ke Irian, bukan
sekedar satu golongan yang hidup di satu daerah kecil. Bangsa Indonesia
adalah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik telah ditentukan
oleh Tuhan tinggal di semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara
Sumatera sampai ke Irian.”
Pemikiran tentang Pancasila dituangkannya dalam rangkaian kata yang
bermuara pada Persatuan dan Kesatuan bangsa, dalam ikatan persaudaraan
tanpa membedakan ras, suku dan agama. Tentulah ini bukanlah sesuatu hal
yang mudah, karena berbagai suku dan agama harus masuk dalam pemikiran
dan juga bermusyawarah dan bermufakat untuk kemajuan bersama dalam
persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Uraian pemikiran tentang makna
dan isi sila-sila yang ada dalam Pancasila tersebut dituangkan dalam
gagasan besar untuk persatuan Indonesia menuju Kemerdekaan Indonesia.
Paham kebangsaan tidak akan meruncing menjadi kauvanis. Tanah air
Indonesia yang berbangsa satu, yang berbahasa yang satu, hanyalah satu
bahagian kecil dari dunia. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang
menyendiri, tetapi seperti dikatakan Mahatma Gandhi, seorang nasionalis
yang kebangsaannya perikemanusiaan.
Indonesia jangan pernah berkata sebagai bangsa yang terbagus, yang
termulia. Indonesia harus menuju persatuan dan persaudaraan dunia
sekaligus menuju kekeluargaan bangsa-bangsa. Karena itu prinsip dasar
kedua adalah “Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.”
Syarat mutlak menuju Indonesia “semua buat semua” ialah ada
permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang
terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat perbaiki segala hal,
termasuk keselamatan agama dengan jalan pembicaraan atau
permusyawaratan.
Apa-apa yang belum memuaskan, dibicarakan di permusyawaratan seperti
tuntutan-tuntutan Islam. Kalau orang Kristen ingin tiap-tiap letter
peraturan negara harus menurut Injil, misalnya, bekerjalah mati-matian
agar sebagian besar utusan-utusan yang masuk badan perwakilan adalah
orang Kristen. Itu adil, fair play, karena itu prinsip ketiga adalah
“Mufakat atau Demokrasi.”
Prinsip keempat adalah “Kesejahteraan sosial”. Tidak akan ada kemiskinan
di dalam Indonesia Merdeka. Kita tidak mau Indonesia Merdeka kaum
kapitalnya merajalela. Atau, semua rakyatnya sejahtera, cukup makan,
cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu
Pertiwi. Kita mencari demokrasi permusyawaratan yang memberi hidup, yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Prinsip kelima Indonesia Merdeka dengan “Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.” Hendaklah negara Indonesia negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Yang Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut
petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menurut kitab-kitab yang ada
padanya. Semua bertaqwa dengan cara yang berkeadaban yakni yang
hormat-menghormati satu sama lain.
Tentunya ini bukanlah pemikiran yang mudah, tapi bukan juga sesuatu yang
sulit kalau hal tersebut memang dipikirkan secara sungguh-sungguh.
Dalam menyusun gagasan ini beliau juga di bantu oleh Mr. Mohammad Yamin.
Bukankah ini sebuah upaya yang patut dan harus kita hargai, tidaklah
harus mensakralkan Pancasila, tapi menghargai Pancasila sebagai dasar
Negara dan alat pemersatu Bangsa, harus tetap terus dikedepankan. Karena
itulah salah satu cara kita menghargai apa yang sudah dirintis dan
diupayakan oleh Pendiri Bangsa ini, untuk menyatukan bangsa ini dari
perpecahan.
Semoga saja dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila 1 Juni
1945 sekarang ini, kita bisa merenungkan apa yang sudah diupayakan Bapak
Pendiri Bangsa ini, Ir. Soekarno, dan kita bisa tetap senantiasa
mengenang jasa-jasa beliau, juga tetaplah mengakui Pancasila sebagai
Dasar Negara dan alat pemersatu bangsa. Semoga kita juga tetap bisa
mengamalkannya dalam kehidupan bernegara, mampu menghargai perbedaan
demi persatuan dan kesatuan Bangsa.
sumber : http://sejarah.kompasiana.com